BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Gambaran Umum
Jalan raya didefinisikan sebagai suatu lintasan yang
betujuan untuk melewatkan lalu-lintas, baik berupa
manusia ataupun barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Jalan merupakan sarana transportasi yang berguna untuk menghubungkan
suatu tempat ke tempat lainnya melalui daratan. Dengan adanya jalan raya akan
membantu memperlancarkan kegiatan atau mobilitas masyarakat, baik yang berada
di daerah kota maupun di daerah-daerah
lainnya akan dapat memperoleh manfaat dengan adanya jalan raya tersebut. Dengan
demikian jalan raya merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi suatu daerah
dalam rangka peningkatan pertumbuhan masyarakat, baik di bidang ekonomi,
sosial, budaya, dan hankam.
Pada kondisi masyarakat tertentu, dengan dibangunnya
prasarana transportasi yang cukup memadai, maka daerah tersebut akan mengalami
perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian pula sebaliknya, berapapun
kaya sumber alam atau produksi suatu daerah tidaklah besar artinya bila tidak
ditunjang dengan adanya sarana dan prasarana jalan raya yang memadai.
Mengingat begitu pentingnya fungsi jalan raya bagi
kehidupan masyarakat, maka suatu jalan raya harus dirancang dengan optimum agar
dapat berfungsi secara optimal.Segala aspek yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perencanaan dan
pelaksanaan suatu pembangunan jalan raya harus mendapat perhatian yang serius,
seperti perencanaan geometri jalan, desain, kontruksi, perkerasan dan
sebagainya. Selain itu juga harus di adakan peninjauan terhadap aspek permasalahan
sosial, ekonomi, politik, hankam dan sebagainya.Dalam merencanakan geometri
jalan raya, hal pokok yang harus kita tentukan adalah bentuk geometri jalan yang
kita rencanakan dapat melayani fungsinya secara optimal kepada penggunanya.
Standar perencanaan ini meliputi standar kelas jalan yang disusun sesuai kelas
jalan yang dibutuhkan yang meliputi faktor teknik lalu-lintas, ketersediaan
dana, aspek-aspek keamanan dan kenyamanan pemakai jalan, sehingga didapat pengambilan
modal (internal rate of return) yang sebaik baik-baiknya.
Mengingat hal-hal yang di atas, maka disusun suatu
peraturan perencanaan sedemikian rupa sehingga memberi kemajuan secara bertahap
sesuai dengan kemajuan daerah dimana proyek tersebut berada. Standar yang
digunakan pada perencanaan jalan raya ini adalah standar perencanaan jalan raya
luar kota versi Bina Marga.
Di samping faktor-faktor penting lainnya yang turut pula
mempengaruhi terhadap perencanaan suatu jalan raya yang perlu mendapatkan
perhatian penting adalah timbulnya masalah-masalah sosial, antara lain sebagai
berikut:
1.
Pembuatan
jalan raya harus mendekatkan hubungan dengan masyarakat di sekitar jalan raya
tersebut.
2.
Hal-hal
yang dapat membuat keakraban masyarakat sekitar terhadap pembuatan jalan raya
sedapat mungkin dihilangkan. Hal
ini mungkin terjadi pada pembuatan jalan-jalan raya, seperti jalan tol atau jalan
bebas hambatan.
3.
Untuk
daerah pemukiman permasalahan yang timbul di antaranya kebisingan, polusi
udara, kecelakaan, masalah-masalah pembebasan tanah atau lahan.
Dalam bidang
budaya masalah yang timbul adalah tempat-tempat rekreasi akan lebih terjangkau, tempat-tempat bersejarah juga akan lebih dikenal oleh banyak masyarakat. Selain itu muncul pula pengaturan lalu-
lintas dan tempat-tempat
parkir di tempat rekreasi.
Pengaruh dibidang ekonomi antara lain, sebagai berikut :
1.
Pembuatan
jalan raya akan lebih menguntungkan bagi sekitar kawasan industri, pertanian,
perdagangan dan sebagainya.
2.
Di
pihak lain ada yang dirugikan karena pembuatan jalan tersebut, yaitu semakin
membuka peluang penebangan kayu secara liar atau dan sebagainya.
Dalam bidang politik dan hahkam pengaruhnya antara lain
akan lebih menguntungkan karena dengan adanya sarana dan prasarana transportasi akan lebih mudah
dalam menjaga
keamanan di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan negara nusantara
ini.
Pada dasarnya perencanaan geometri merupakan bagian dari
perencanaan jalan raya dimana dimensi yang nyata dari suatu
jalan raya beserta bagian-bagiannya disesuaikan dengan susunan cerita serta
sifat-sifatlalu-lintas yang akan melaluinya.
Perencanaan geometri secara umum telah menyangkut
aspek-aspek perencanaan bagian jalan antara lain sebagai berikut :
1.
Lebar
jalan
2.
Tikungan
3.
Kelandaian
4.
Jarak
pandang henti dan menyiap
5.
Kondisi
dan bagian-bagian tersebut.
Jarak pandang henti adalah jarak dimana kendaraan dapat berhenti dengan aman (saat pengemudi melihat rintangan hingga kendaraan berhenti
sebelum menembak) dan juga perencanaan pertemuan jalan (intersection atauinterchange) masuk dalam
geometri ini :
1.
Intersection : Pertemuan jalan yang sebidang
2.
Interchange : Pertemuan jalan yang tidak sebidang
Untuk
penempatan lokasi suatu trase jalan dan bagian dari
perencanaan sampai batas tertentu juga di pengaruhi oleh keadaan
fisik topografi dan penggunaan suatu
daerah yang dilaluinya.
Topografi yaitu
peta yang didapat dari pengukuran tentang keadaan permukaan tanah, tinggi
rendahnya permukaan tanah.Peta ini dibuat dari pengukuran detail alamiah maupunbuatan
tangan manusia. Kedaan tanah dasar
dapat mempengaruhi lokasi dan bentuk geometri
dari suatu jalan, misalnya
bila keadaan tanah dasar jelek, maka perencanaan akan merubah trase
jalan atau menghilangkan tanah jelek tersebut dengan mengganti atau menimbunnya.
Untuk daerah
perbukitan atau pegunungan, peta topografi sangat mempengaruhi dan penting
untuk penilaian atau pemilihan lokasi
serta penepatan bagian-bagian lainnya seperti jalan tersebut. Peta topografi
dan penggunaan tanah mempunyai arti yang sangat penting dalam perencanaan
gemetri jalan raya. Maka keterangan-keterangan mengenai hal-hal ini harus
didapat dari awal perencanaan survey udara atau faktor geometri yang akan
mempercepat pengumpulan data-data.
Melalui
perencanaan geometri jalan ini diharapkan dapat menciptakan paduan yang baik antara waktu dan ruang sehubungan
dengan keadaan yang bersangkutan, sehingga dapat menghasilkan efisen keamanan
serta kenyamanan yang optimal dalam batas-batas ekonomi yag layak. Di samping itu
harus memperhatikan faktor-faktor antara lain :
1.
Nyaman : tidak banyak tikungan, tidak terlalu terjal, tidak
terlalu banyak ada gangguan.
2.
Aman : jarang terjadi kecelakaan.
3.
Biaya : seefisien mungkin tetapi tetap memperhatikan
keamanan.
4.
Pendek : dapat dicapai dalam waktu yang
singkat.
Jadi perencanaan geometri jalan berhubungan
dengan arus lalu-lintas, sedangkan perencanaan kontruksi berhubungan dengan beban
lalu-lintas yang melalui jalan tersebut.Akan tetapi antara perencanaan geometri
dan perencanaan konstruksi ini mempunyai
hubungan yang sangat erat untuk terciptanya perencanaan jalan secara keluruhan
(Over all planning). Perencanaan suatu jalan yang lengkap tidak hanya
menyangkut factorkeamanan dan kenyamanan
serta ekonomis, akan tetapi juga menyangkutfaktor keindahan,sehingga jalan akan
memberikan keseimbangan dengan lingkungan dan pemandangan yang indah.
1.2
Pengertian peta topografi dan data yang tersedia
Peta topografi adalah peta yang didapat dari pengukuran tentang
keadaantanah, naik turunya(elevasi) dari suatu permukaan tanah yang bisa
didapat dari pengukuran detail, baik alamiah maupun detail buatan manusia.
Penetapan lokasi suatu jalan dan bagian dari perencanaan
sampai batas tertentu dipengaruhi oleh keadaan fisik topografi dan penggunaan
daerah yang dilaluinya. Keadaan tanah dasar akan mempengaruhi lokasi dan bentuk
geometri dari jalan, misalnya keadaan tanah dasar yang jelek dapat memaksa
perencana memindahkan trase jalan atau menghilangkan tanah jelek tersebut
denganmengganti atau menimbunnya tinggi-tinggi.
Untuk daerah pegunungan atau perbukitan, peta topografi
sangat mempengaruhi pemilihan lokasi serta penetapan bagian-bagian lainnya,
seperti tipe jalan tersebut. Peta topografi dan penggunaan tanah mempunyai arti
yang sangat penting dalam perencanaan geometri muka jalan.
Keterangan-keterangan mengenai hal ini sudah harus didapat pada awal
perencanaan survey udara atau foto geometri yang akan menpercepat pengumpulan
data-data.
1.3
Permasalahan
Dalam suatu perencanaan geometri jalan raya , perencana
harus dapat menganalisa, mendesain dan mengkalkulasikan masalah-masalah pada
perencanaan suatu jalan . Oleh sebab itu dengan mempertimbangkan syarat teknis
dan ekonomis, kami selaku perencana telah membuat suatu prencanaan jalan yang
dalam penggunannya dapat memenuhi syarat tersebut.
Dari segi teknis, rencana jalan yang kami buat memiliki
tikungan yang tidak terjal sehingga kemungkinan kecelakaan semakin kecil dan
pengguna jalan akan merasa nyaman.Dari segi ekonomis, rencana jalan yang kami
buat memiliki jarak dan waktu tempuh yang relative singkat yang dapat
meminimalisir pengeluaran pengguna jalan ataupun dalam pembuatannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Perencanaan Geometri Jalan
Raya
2.1.1 Gambaran Umum
Pembangunan jalan
raya harus pula diperhitungkan kemungkinan pengembangan yang akan terjadi di
sekitar jalan raya tersebut, perubahan alinyemen dan desain geometri akan
menjadi sangat sulit karena biaya sangat mahal, oleh karena itu ketelitian
perencanaan sangat diperlukan. Dengan mempertimbangkan keistimewaan dan kondisi
sekitar jalan raya yang sangat beragam, toleransi yang cukup besar harus diterapkan
pada penggunaan spesifikasi dalam perencanaan ini.
2.2
Jalan Raya Baru
2.2.1 Taraf
yang perlu diketahui :
a.
Pemilihan alinyemen.
b.
Material dan perencanaannya.
c.
Pelaksanaan
konstruksi (perkerasan tanah dan konstruksi perkerasan).
2.2.2 Langkah-langkah kerja jalan raya baru :
a.
Map
study (studi
peta).
b.
Reconnaissance
(peninjauan).
c.
Premiliminary
survey (survey
pendahuluan).
d.
Locationof
final alignment.
e.
Detailed
survey.
f. Material
survey.
g.
Design details (detail timbunan dan galian, jembatan dan perkerasannya).
h.
Earth
work.
i. Pavement construction (persiapan subgrade, subbase dan lapisan permukaan).
j. Construction
control (test control selama tingkatan kerja).
2.2.3 Adapun langkah-langkah dalam merencanakan sebuah
perencanaan geometri jalan baru, yaitu :
a.
Perlunya
Perencanaan
1.
Menyediakan
jalan-jalan yang efisien dan aman dengan biaya minimum.
2.
Mendapatkan
sistem jalan yang punya penggunaan maksimum sesuai dana yang ada.
3.
Memastikan
perkembangan tiap jalan sesuai dengan prioritas.
4.
Menyusun
sistem keuangan.
b.
Survey
Perencanaan
Terdiri
dari :
1. Studi ekonomi.
- Penduduk.
- Industri.
- Fasilitas.
- Income
perkapita.
2. Studi keuangan.
-
Pendapatan dari transportasi jalan.
-
Standar hidup.
-
Pajak, denda dan lain sebagainya.
3.
Studi penggunaan
jalan dan lalu-lintasnya.
-
Volume lalu-lintas.
-
Studi asal tujuan.
-
Fasilitas transportasi untuk massa.
-
Kecelakaan
: analisa biaya dan penyebabnya.
-
Model
angkutan dan pertumbuhan trip penumpang.
4. Studiengineering
-
Tanah, survey topografi.
-
Lokasi dan klasifikasi jalan.
-
Studi umur jalan.
-
Drainase, pemeliharaan.
-
Perkembangan jalan baru.
c.
Persiapan
Perencanaan
Berisi
gambar-gambar yang diperlukan setelah survey
perencanaan.
d.
Interpretasi
Survey Perencanaan
Berbagai detail
perencanaan yang didapat dari survey
perencanaan dan persiapan
perencanaan kemudian diinterpolasi secara ilmiah.
e.
Persiapan
Master Plan
Master Plan adalah final
dari perencanaan perkembangan jalan untuk daerah yang di studi. Berisi
perbandingan beberapa alternatif jaringan jalan yang ada.
f.
Survey
Engineering lokasi jalan
Survey ini
dilaksanakan sebelum alinyemen akhir ditetapkan.
Macam survey :
1.
Studi peta (map study).
2.
Peninjauan (reconnaissance)
3.
Survey pendahuluan (premilinnary survey )
4.
Lokasi akhir dan survey detail (final location and detailed survey)
2.2.4 Langkah-langkah
dalam perencanaan kerja jalan raya baru
1. Map Study
Gunanya adalah
memberi gambaran kasar dari alinyemen selanjutnya akan di survey di
lapangan. Peta yang diperlukan adalah
peta topografi (peta umum berskala besar, biasanya 1 : 50.000, berisikan
penampakan antara lain : desa, sungai-sungai, pegunungan, dataran rendah,
sawah, jalan-jalan, kuburan dan lain sebagainya). Dari peta ini bisa ditentukan
beberapa alternatif alinyemen dengan memperhatikan persyaratan yang ada.
2. Reconnaissance.
Berisikan survey, untuk memeriksa alinyemen yang
telah ditentukan sebelumnya (mapstudy),
menurut kenyataan sebenarnya (dilapangan).Data
- data yang diperlukan dikumpulkan secara cepat (tidak perlu akurat) dan
alat-alat yang dipakai sangat sederhana (contoh : ABNEY level, barometer, tangen clinometer).
Beberapa data yang perlu :
1.
Gradient,
panjang gradien, jari-jari kurva.
2.
Jumlah
dan tipe drainase melintang, banjir maksimum dan muka air tanah sepanjang alinyemen.
3.
Tipe
batu, seepage(rembesan), lapisan
lereng dan sebagainya. Untuk mengetahui stabilitas lereng (bila aliran melalui
pegunungan).
Bila daerah
sangat luas, reconnaissance bisa
dilakukan melalui udara. Setelah data didapat maka ada kemungkinan perubahan
dalam alinyemen.
3. Premiliminary
survey
Tujuan :
1.
Mensurvey berbagai alinyemen yang diusulkan
pada reconnaissance dan mengumpulkan
semua detail topografi, drainase dan tanah yang diperlukan.
2. Membandingkan berbagai alinyemen tersebut.
3. Menaksir jumlah pekerjaan tanah, material dan pekerjaan
lain berikut biayanya.
4. Menetapkan alinyemen yang terbaik.
Survey bisa dengan cara :
1.
Konventional approach.
Berisi:
pengukuran-pengukuran, data topografi, survey
tanah, data hidrologi dan lain sebagainya.
2.
Modern
approach.
Data diambil dari udara kemudian dengan metode photointerpretation didapat peta
topografi dan peta tanah.
3.
Final
location and detailed
survey
Lokasi
akhir ditentukan menurut alinyemen yang terbaik danuntuk menandai as jalan raya
tersebut dipergunakan theodolit dan pita baja.
4. Survey detailed seperti
leveling work, pekerjaan tanah,
drainase, penampang melintang, hidrologi dan tipe tanah dikerjakan secara
komplit dan teliti.
g. Gambar
dan Laporan
Gambar-gambar
yang biasanya dipersiapkan untuk proyek jalan raya :
1.
Key Map
Menunjukkan jalan-jalan yang ada dan jalan
yang diusulkan.
2.
Index Map.
Menunjukkan topografi daerah.
3.
Premiliminary
Survey Plan.
Menunjukkan
detail dari alinyemen yang mungkin.
4.
Detailed Plan.
Menunjukkan
rencana daerah dengan alinyemen dan perbatasan kontur, detail struktur dan
geometri.
5.
Longitudinal Section.
Menunjukkan garis datum,
permukaaan tanah asli, profil vertikal muka jalan dan posisi drainase melintang.
6.
Detailed Cross Section.
Digambarkan dengan interval 100
meter atau dimana ada perubahan tiba-tiba (belokan, jembatan, dan lain
sebagainya). Di daerah bukit plans
schedules.
7.
Land Asquisition Plan and Schedule.
Menunjukkan detail-detail bangunan,
sumur-sumur, kebun-kebun yang nantinya akan ditaksir
harganya.
8.
Detailed Design for Masonry Work.
Menunjukkan detail
konstruksi yang akan
dikerjakan (skala besar
1 : 1000; 1 : 100; 1 : 10 ).
9.
Drawing
for Buildings, dak bungalow,
rest house dan sebagainya.
Dipersiapkan
terpisah dengan skala sampai dengan point 8. Sebagai tambahan digambar juga
site plannya.
10.
Perencanaan
Medan Untuk Quarry.
Diperlukan
bila bahan konstruksi bisa diperoleh dengan penggalian, ukuran peta dan
skalanya sama dengan point 8.
2.3
Ketentuan – ketentuan
2.3.1.
Klasifikasi
Jalan
Klasifikasi jalan menunjukkan standar operasi yang dibutuhkan dan merupakan
suatu bantuan yang berguna bagi perencana. Di Indonesia untuk klasifikasi jalan
raya yang didasarkan pada fungsinya, besar volume kendaraan serta lalu lintas
yang dilayaninya atau yang diharapkan akan melaluinya sebagai berikut :
Dalam menghitung
besarnya volume lalu lintas untuk keperluan penetapan kelas jalan kecuali untuk
jalan - jalan yang tergolong dalam kelas II C dan III, kendaraan yang tidak
bermotor tak diperhitungkan dan untuk jalan-jalan kelas II A dan I, kendaraan
lambat tak diperhitungkan. Khusus
untuk perencanaan jalan-jalan kelas I sebagai dasar harus digunakan volume lalu
lintas pada saat-saat sibuk. Sebagai volume waktu sibuk yang digunakan untuk
dasar suatu perencanaan ditetapkan sebesar 15% dari volume harian rata-rata.
1.
Kelas I.
Kelas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan
untuk dapat melayani lalu-lintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalu-lintasnya
tak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan raya dalam
kelas ini merupakan jalan-jalan raya yang berjalur banyak dengan konstruksi
perkerasan dari jenis yang terbaik dalam arti tingginya tingkatan pelayanan
terhadap lalu-lintas.
2.
Kelas II.
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder.
Dalam komposisi lalu-lintasnya terdapat lalu-lintas lambat. Kelas jalan ini,
selanjutnya berdasarkan komposisi dan sifat lalu-lintasnya, dibagi dalam tiga
kelas, yaitu : II A, II B dan II C.
3.
Kelas II A.
Adalah
jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan
jalan dari jenis aspal beton (hotmix)
atau yang setara, dimana dalam komposisi lalu-lintasnya terdapat kendaraan
lambat, tapi tanpa kendaraan yang tak bermotor.
4.
Kelas II B
Adalah
jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan dari penetrasi
berganda atau yang setarap dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat
kendaraan lambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor.
5.
Kelas II C.
Adalah
jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari
jenis penetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat
kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.
6.
Kelas III.
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan
merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Konstruksi permukaan
jalan yang paling tinggi adalah pelaburan dengan aspal.
Tabel
2.3.1 Klasifikasi Jalan Berdasarkan LHR ( Bina Marga)
Klasifikasi Jalan
|
Lalu lintas harian rata - rata (LHR)
dalam SMP |
|
Fungsi
|
Kelas
|
|
UTAMA
|
I
|
>
20.000
|
SEKUNDER
|
II
A
|
6.000
s/d 20.000
|
II
B
|
1.500
s/d 8.000
|
|
II
C
|
<
2.000
|
|
PENGHUBUNG
|
III
|
-
|
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya Luar Kota (
Direktorat Jenderal Bina Marga, 1990 )
2.3.2. Lalu Lintas
Pada umumnya lalu-lintas pada jalan raya terdiri dari
campuran kendaraan cepat, kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan
dan kendaraan yang tidak bermotor. Dalam hubungannya dengan kapasitas jalan,
pengaruh dari setiap jenis kendaraan tersebut terhadap keseluruhan arus lalu-lintas,
diperhitungkan dengan membandingkannya terhadap pengaruh dari suatu
mobil penumpang. Pengaruh mobil penumpang dalam hal ini dipakai sebagai satuan
dan disebut “Satuan Mobil Penumpang”
atau disingkat SMP.
Untuk menilai setiap kendaraan kedalam satuan mobil
penumpang (SMP), bagi jalan-jalan di daerah datar digunakan koefisien
di bawah ini :
-
Sepeda : 0,5
-
Mobil penumpang/sepeda motor :
1
-
Truk
ringan (berat kotor < 5 ton ) : 2
-
Truk sedang > 5 ton : 2,5
-
Bus :
3
-
Truk berat > 10 ton :
3
-
Kendaraan tak bermotor :
7
Di daerah perbukitan
dan pegunungan, koefisien untuk kendaraan bermotor di atas dapat dinaikkan,
sedang untuk kendaraan tak bermotor tak perlu dihitung.
Data
mengenai lalu lintas merupakan data utama dari suatu perencanaan di samping
pengaruhnya yang besar terhadap perencanaan bentuk seperti lebar, alinyemen
landai dan sebagainya
1.
Volume Lalu-Lintas
Lalu-Lintas
Harian Rata-Rata ( LHR) atau Average
Daily Traffic dimana satuan
yang umum dipakai
untuk lalu lintas adalah LHR atau ADT. LHR atau ADT didapat dari
jumlah lalu-lintas setahun dibagi 365 hari.Jumlah LHR
yang baru untuk suatu jalan dapat langsung dihitung kalau perhitungan lalu-lintasnya
secara terus menerus bisa didapatkan data mengenai jumlah LHR, berguna untuk
beberapa hal seperti penentuan biaya, pemakai jalan atau untuk menentukan tebal
perkerasan jalan.
2.
Volume
Jam Perencanaan (VJP) atau Design
Volume Hourly (DVH)
Pada
dasarnya suatu perencanaan sampai batas-batas tertentu harus berpedoman pada
volume pada waktu-waktu sibuk yaitu pada saat dimana jalan menerima beban yang
maksimal, tetapi cukuplah dimengerti bahwa perencanaan berdasarkan volume waktu
sibuk yang terbesar diseluruh volume.
2.4.
Kondisi Topografi
Topografi
merupakan faktor penting dalam menentukan lokasi jalan dan pada umumnya
mempengaruhi alinyemen sebagai standar perencanaan geometrik seperti landai
jalan, jarak pandangan, penampang melintang dan sebagainya. Untuk memperkecil biaya pembangunan, suatu
standar perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Dalam hal ini jenis medan
dibagi dalam tiga golongan umum yang menurut besarnya lereng melintang dalam
arah kurang lebih tegak lurus sumbu jalan raya.
Adapun pengaruh medan meliputi hal-hal :
1.
Tikungan
Jari-jari tikungan dan pelebaran perkerasan diambil
sedemikian rupa sehingga terjamin keamanan jalannya kendaraan-kendaraan dan
pandangan bebas yang cukup luas.
2.
Tanjakan
Adanya
tanjakan yang curam, dapat mengurangi kecepatan kendaraan dan kalau tenaga
tariknya tidak cukup, maka berat muatan kendaraan harus dikurangi yang berarti
mengurangi kapasitas angkut dan sangat merugikan. Karena itu, diusahakan supaya tanjakan dibuat landai
Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang yang
bersangkutan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3.2 Klasifikasi
Kondisi Medan
GOLONGAN MEDAN
|
LERENG MELINTANG
|
Datar
( D )
|
0
sampai 9, 9 %
|
Perbukitan
( B )
|
10 sampai 24, 9 %
|
Pegunungan
( G )
|
dari
25 % ke atas
|
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya Luar Kota (
Direktorat Jenderal Bina Marga, 1990 )
2.5. Kecepatan
Rencana
Kecepatan merupakan faktor utama dari
segala macam transportasi. Ada dua definisi tentang kecepatan rencana :
1. Menurut
The Highway Capacity Committee of the Highway Research Board
(HCCHRBp18).
Kecepatan
rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk merencanakan dan mengkorelasikan
bentuk-bentuk setiap bagian jalan raya seperti tikungan jalan raya, jarak
pandangan dan lain-lain dimana
keamanan jalan raya tergantung padanya.
2. Menurut
AASHTO 1995
Kecepatan
rencana adalah kecepatan yang ditetapkan untuk merencanakan dan mengkorelasikan semua bentuk-bentuk
fisik jalan yang mempengaruhi operasi/jalannya kendaraan.
Atau
dapat juga kecepatan
rencana adalah kecepatan maksimum
yang masih aman sepanjang jalan tertentu bila kondisi baik sehingga bentuk dari
jalanlah yang menentukan keamanan. Kecepatan
yang dipergunakan oleh pengemudi tergantung dari :
1.
Pengemudi
dan kendaraan yang bersangkutan.
2. Sifat
fisik jalan.
3.
Cuaca.
4.
Adanya
gangguan dari kendaraan lain.
Hampir semua perencanaan bagian-bagian jalan raya
dipengaruhi design speed. Suatu design
speed harus sesuai
dengan sifat-sifat lapangan (terein),
tipe dari jalan raya yang bersangkutan dan biayanya.
Bentuk-bentuk seperti belokan, kemiringan jalan (superelevasi) dipengaruhi
secara langsung dengan design speed.
Sedang bentuk-bentuk lain seperti lebar perkerasan, bahu jalan dan kebebasan
samping secara tidak langsung dipengaruhi/mempunyai hubungan dengan design speed tetapi mempengaruhi
kecepatan kendaraan.
Pemilihan dari design
speed dipengaruhi sifat lapangan dan pemikiran ekonomis. Sebagai pedoman
umum untuk ini keadaan terrein dapat
dibagi dalam tiga keadaan :
1. Daerah
datar.
2. Daerah
perbukitan.
3. Daerah
pegunungan.
Sedang penggunaan daerah dapat dibedakan dalam dua
golongan, yaitu :
1. Daerah
pedalaman.
2. Daerah
kota.
Suatu
jalan yang ada didaerah datar mempunyai design
speed yang lebih tinggi dari pada yang ada di daerah pegunungan ataupun
daerah bukit. Suatu jalan di daerah terbuka mempunyai design speed yang lebih tinggi dari pada daerah kota.
2.6. Jarak
Pandang
Yang
dimaksud dengan jarak pandang adalah panjang bagian jalan didepan pengemudi
yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik kedudukan pengemudi.
Syarat jarak pandangan yang diperlukan dalam perencanaan jalan raya untuk
mendapatkan keamanan yang setinggi-tingginya bagi lalu-lintas adalah seperti
dijelaskan dalam pasal-pasal berikut :
1.
Jarak Pandangan Henti
Jarak minimum yang diperlukan pengemudi untuk
menghentikankendaraan yang sedang berjalan.
D = D1
+ D2
Keterangan :
D1 = Jarak
yang ditempuh kendaraan dari waktu melihat benda di mana harus berhenti sampai
menginjak rem (meter).
= 0,278 V. t
D2 = Jarak
yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (meter).
= V2 : (254 f)
D = Jarak
Pandangan henti (meter).
V = Kecepatan
rencana (Km/jam).
t = Waktu
yang diperlukan untuk menempuh D1.
2.
Jarak Pandang Menyiap
Jarak pandang
menyiap untuk 2 jalur dihitung dari penjumlahan 4 jarak :
D1 = 1,47
t1 (V - m + 0,5 a t 1)
D2 = 1,47
t2
D3 = 110 :
300 f t
D4 = ( 2
: 3 ) D2
Dpm = D1
+ D2 + D3 + D4
Keterangan :
D1 = Jarak
yang ditempuh selama pengamatan.
D2 = Jarak
yang ditempuh selama penyiapan.
D3 = Jarak antara kendaraan menyusul setelah
gerakan menyusul dengan kendaraan lawan.
D4 = Jarak
yang ditempuh arah lawan.
t 1
= Waktu
selama pengendara mengikuti sampai suatu titik mau beralih ke arah lawan (diambil
3,7 : 4,3 detik).
a = Percepatan rata-rata (mph/s).
V = Kecepatan rata-rata kendaraan menyusul (mph).
m = Beda kecepatan (mph).
t2 = Waktu
selama kendaraan penyusul ada dijalur lawan (9,3 : 10,4 detik).
D3 = Jarak kebebasan (110 : 300 ft).
D4 = Jarak
yang ditempuh kendaraan lawan.
Ketentuan untuk mengukur jarak pandang, jarak pandang
diukur dari ketinggian mata pengemudi ke puncak penghalang. Untuk jarak pandang
henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm
dan ketinggian penghalang 10 cm. Sedangkan
untuk jarak pandangan menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan
ketinggian penghalang adalah 125 cm.
2.7.Alinyemen Horizontal
2.7.1.
Umum
Alinyemen horizontal atau trase suatu jalan adalah garis
proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada pertemuan atau bidang horizontal. Trase
jalan yang dimaksud tertera pada bidang batas gambar, biasanya disebut gambar
“situasi jalan“ yang secara umum menunjukkan arah dari jalan yang ditunjukkan.
Hal ini karena kendaraan mempunyai panjang tertentu, sedangkan ada waktu
membelok yang diberi belokan adalah roda depan. Alinyemen horizontal harus
ditetapkan sebaik-baiknya kecuali untuk memenuhi syarat-syarat teknik lalu
lintas, juga harus mempertimbangkan penyediaan drainase yang cukup baik dan
memperkecil pekerjaan tanah yang diperlukan. Kemungkinan akan pembangunan
bertahap harus telah diperhatikan, misalnya peningkatan kekuatan perkerasan,
perbaikan alinyemen baik vertikal maupun horizontal, yang diperlukan di
kemudian hari dapat dilakukan dengan penambahan biaya sekecil-kecilnya.
2.7.2. Perencanaan Lengkung
Bagian yang kritis pada alinyemen horizontal adalah
bagian lengkung, dimana terdapat gaya yang akan melemparkan kendaraan keluar
daerah tikungan yang disebut gaya sentrifugal. Atas dasar ini, maka perencanaan
tikungan diusahakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan, sehingga
perlu dipertimbangkan :
2.7.3.
Menentukan
Jenis Lengkung
Didalam suatu perencanaan garis lengkung perlu diketahui
hubungannya dengan kecepatan rencana dan hubungan keduanya dengan kemiringan
melintang jalan (Super elevasi),
karena memang lengkung peralihan bertujuan mengurangi gaya sentrifugal secara
berangsur, dari mulai nol sampai mencapai maksimum yang kemudian secara
berangsur menjadi nol kembali.
Bentuk-bentuk tikungan :
-
Bentuk Tikungan Circle
Gambar 2.3.1 Tikungan Circle
Bentuk tikungan ini digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari besar
dan sudut tangen yang relatif kecil.
Adapun batasan yang biasa dipakai di Indonesia dimana
diperbolehkan menggunakan bentuk circle
adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3.3 Klasifikasi
Jari-jari Minimum
Kecepatan
Rencana (Km/jam)
|
Jari-Jari Lengkung Minimum (m)
|
80
|
210
|
60
|
115
|
50
|
80
|
40
|
50
|
30
|
30
|
20
|
15
|
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya Luar Kota (
Direktorat Jenderal Bina Marga, 1990 )
Untuk
tikungan yang jari-jari lebih kecil dari harga di atas, maka bentuk tikungan
yang dipakai adalah spiral-circle-spiral.
Rumus
perhitungan untuk bentuk circle :
T = R
tg 0,5 D
E = T tg
0,25 D
E = Ö ( R2 + T2 ) - R
= R ( Sec
0,5 D - 1 )
L = 0,01745.
D . R
Keterangan :
PI Sta
= Nomor stasiun (Point of Intersection)
V =
Kecepatan rencana (ditetapkan) (km/jam)
R =
Jari-jari (ditetapkan) (m)
D = Sudut tangen
(diukur dari gambar trase dalam derajat)
TC = Tangen
circle
CT = Circle
tangen
T = Jarak antara TC dan PI (dihitung -
meter)
L = Panjang bagian tikungan
(dihitung - meter)
E =
Jarak PI ke lengkung peralihan (dihitung - meter)
Bila Lc> 20 maka bentuk tikungannya adalah Spiral-Circle-Spiral
-
Bentuk Tikungan Spiral-Circle-Spiral
Gambar 2.3.2 Tikungan Spiral-Circle-Spiral
Lengkung spiral merupakan peralihan dari bagian
lurus kebagian circle, yang
panjangnya diperhitungkan dengan mempertimbangkan bahwa perubahan gaya
sentrifugal dari nol (pada bagian lurus) sampai mencapai dimana harga berikut :
F cent = (m
. V3 ) : (R . Ls)
Ls
min = 0,022
. {V3 : ( R . C )} - {(2,727 . V . k ) : C}
Keterangan :
Ls = Panjang lengkung
spiral (m)
V = Kecepatan
rencana (km/jam)
R = Jari-jari circle (m)
C = Perubahan kecepatan (m/ det3)
Harga C = 0,4 (m/det)
K = Superelevasi
Adapun jari-jari yang diambil untuk tikungan spiral circle-spiral haruslah sesuai dengan kecepatan rencana dan
tidak mengakibatkan adanya kemiringan tikungan yang melebihi harga maksimum yang ditentukan yaitu :
1.
Kemiringan
maksimum jalan antar kota
: 0,10
2.
Kemiringan
maksimum jalan dalam kota
: 0,08
Jari-jari
lengkung minimum untuk setiap kecepatan rencana ditentukan berdasarkan :
1.
Kemiringan tikungan maksimum
2.
Koefisien
gesekan melintang maksimum
R = V2 : {127 ( e + f n )}
Keterangan
:
R = Jari-jari
lengkung minimum(m)
V = Kecepatan
rencana (Km/jam)
e = Miring
tikungan (%)
fm = Koefisien
gesekan melintang maksimum
Untuk jari-jari lengkung cukup besar sehingga tidak perlu
adanya kemiringan tikungan . Rumus-rumus yang dipergunakan untuk
lengkung Spiral-Circle-Spiral adalah :
D = 1432,4°
: R
Dc = D
- 2 qS
Lc = Dc
. 2
p
Rc : 360°
L = Lc
+ 2 LS
TS = ( Rc + p ) tg 0,5 D + k
ES = ( Rc + p ) sec 0,5 D - Rc
Keterangan :
PI
sta = Nomor
stasiun
d = Jarak
PI ke PI yang lain
V = Kecepatan
rancana (ditetapkan)
D = Diukur dari gambar trase
R = Jari-jari
(ditetapkan)
LS = Panjang
lengkung spiral
Lc = Panjang lengkung circle
Bila Lc< 20 maka bentuk tikungannya adalah Spiral-Spiral
-
Bentuk Tikungan Spiral-Spiral
Gambar 2.3.3 Tikungan Spiral-Spiral
Bentuk tikungan jenis ini
dipergunakan pada tikungan yang tajam. Adapun rumus-rumusnya semua sama seperti
rumus-rumus untuk bentuk tikungan spiral-circle-spiral, hanya
yang perlu diingat bahwa :
Dc =
0 , maka D= 2 qS
Lc = 0
Lc = 0 , maka
L = 2 LS
LS = 2 p
R . 2 qS
: 360°,
maka L = qS.
R : 28,648
Harga: p = p*
. LS
k = k* . LS
Dengan mengambil harga p* dan k*
dari tabel AASHTO
TS=(
R + p ) tg 0,5 D + k dan ES=(
R + p ) sec 0,5 D - R
a.
Menentukan
Jari-jari Kelengkungan
Jari-jari lengkung minimum
untuk setiap kecepatan rencana ditentukan berdasarkan kemiring
tikung maksimum dan koefisien gesekan melintang maksimum.
Dengan rumus :
R = V2 / 127 ( e + fm )
|
Keterangan :
R = Jari-jari lengkung minimum ( m )
V = Kecepatan rencana ( km/jam)
e = Kemiringan
tikungan ( % )
fm = Koefisien gesekan melintang
Suatu tikungan dengan jari-jari lengkung yang cukup besar
sampai batas-batas tertentu tidak perlu diadakan kemiring tikungan.
b. Penentuan Panjang Lengkung Spiral ( LS )
Lengkung spiral
berfungsi untuk menjaga agar perubahan gaya sentrifugal yang timbul pada waktu
kendaraan memasuki atau meninggalkan tikungan dapat terjadi secara
berangsur-angsur. Di samping itu, hal ini juga dimaksudkan untuk membuat
kemiringan transisi lereng jalan menjadi superelevasi tidak terjadi secara
mendadak dan sesuai dengan gaya sentrifugal yang timbul sehingga keamanan dan
kenyamanan terjamin. Untuk menentukan panjang lengkung spiral ( LS )
perhitungan sesuai dengan jenis tikungan, sebagai berikut :
· Jenis/bentuk
tikungan Circle
Lengkung spiral merupakan peralihan dari
bagian lurus kebagian circle yang
panjangnya diperhintungkan dengan mempertimbangkan perubahan gaya sentrifugal,
sedangkan pada jenis tikungan circle
lengkung spiral ( LS ) dianggap 0.
· Jenis/bentuk tikungan
Spiral-Circle-Spiral
Untuk menentukan lengkung spiral ( LS ) pada jenis tikungan Spiral-Circle-Spiral ditentukan dari 4 rumus di bawah ini dan diambil nilai
yang terbesar.
1. Berdasarkan
Lengkung Spiral
Dengan :
Waktu (T) = 3 sekon
2. Berdasarkan
Antisipasi Gaya Sentrifugal
Dengan :
Perubahan
Kecepatan ( C ) = 1 sekon
3. Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan
kelandain
Dengan
:
VR = 70 km/jam
em (e
maks) = 10% = 0,1
en (e
normal) = 8% = 0,08
4. Berdasarkan landai relatif maksimum
Ls = (e
+ en) . B . m
Dengan
:
e = e rencana untuk Rc
en = e normal
B = lebar jalur 1 arah
m = landai relatif
·
Jenis/bentuk tikungan spiral-spiral
Tikungan jenis spiral-spiral digunakan pada tikungan
tajam dengan sudut tangent yang besar. Pada prinsipnya lengkung spiral-spiral
sama dengan lengkung spiral-circle-spiral. Hanya saja pada tikungan spiral-spiral
tidak terdapat busur lingkaran sehingga nilai lengkung tangen (Lt) adalah 2
kali lengkung spiral Ls. Sehingga digukan rumus sebagai berikut :
Ls = (2.π. R.θs)/180
Lt = (2. Ls)+ Lc
dengan Lc = 0
= 2. Ls
Dimana :
Ls = Panjang spiral
Lt = Panjang busur spiral
Selain menggunakan rumus diatas untuk menentukan nilai
lengkung spiral ( LS ) dapat ditentukan dari Tabel. Daftar Panjang Minimum Spiral dan Kemiringan Melintang
( e maksimum 10 % ). ( Terlampir )
c.
Penentuan
Superelevasi
Ada tiga
cara untuk mengubah superelevasi yaitu :
1.
Profil sumbu (as jalan) sebagai sumbu
putar, umum dipakai di Indonesia.
2.
Tepi
dalam sebagai sumbu putar.
3.
Tepi
luar sebagai sumbu putar.
Gambar 2.3.4 Diagram Kemiringan Melintang
Diagram
superelevasi menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng normal ke
superelevasi penuh, sehingga dengan mempergunakan diagram superelevasi dapat
ditentukan bentuk penampang melintang pada setiap titik di suatu lengkung
horizontal yang direncanakan. Diagram
superelevasi digambar berdasarkan elevasi tepi luar sebagai sumbu putar.
Elevasi tepi perkerasan pada saat kemiringan penuh, diberi tanda negatif. Pada
saat kemiringan normal, tepi perkerasan sebelah dalam selalu bertanda
negatif.Pencapaian kemiringan normal (en) ke kemiringan penuh (emak
relatif) dapat dilakukan sebagai berikut :
1.
Tikungan Circle-Circle
Walaupun tikungan circle
tidak mempunyai lengkung peralihan, akan tetapi tetap diperlukan adanya suatu
lengkung peralihan fiktif ( LS’).
LS’ = B . em.m
Keterangan :
LS’ = Lengkung
peralihan fiktif ( m )
B = Lebar
perkerasan ( m )
em = Kemiringan melintang maksimal
relatif(superelevasi maksimal pada tikungan)
m = Kelandaian
relatif maksimal antar tepi perkerasan. (harga ini tergantung kecepatan
rencana).
Gambar 2.3.5 Diagram
Superelevasi Circle-Circle
(Berdasarkan Bina Marga )
Gambar 2.3.6 Diagram
Superelevasi Spiral-Circle-Spiral
( Berdasarkan
Bina Marga )
Gambar
2.3.7 Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral
( Berdasarkan
AASHTO )
Banyaknya
penghalang-penghalang yang mungkin terjadi dan sifat-sifat yang berbeda dari
masing-masing penghalang mengakibatkan sebaiknya setiap elevasi yang menimbulkan halangan tersebut
ditinjau sendiri-sendiri. Penentuan batas minimum jarak antara sumbu lajur
sebelah dalam ke penghalang ditentukan berdasarkan kondisi dimana jarak
pandangan berada di dalam lengkung, atau jarak pandangan lebih kecil panjang
lengkung horizontal.
Gambar
2.3.8 Jarak Pandang pada Lengkung Horizontal
Jarak Pandang pada lengkung horizontal
untuk S ≤ L
Rumus-Rumus :
M = R’ – R’ cos q
m = R’ ( 1 – cos q
)
S = pqR’ : 90
= 90 S : pR’
= 28,65 S : R ‘
m = R’ (1 – cos
)
Keterangan :
Garis AB = Garis pandang
Lengkung AB = Jarak
pandang
m = Jarak
dari penghalang ke sumbu lajur
sebelah
dalam (m)
q = Setengah
sudut pusat lengkung sepanjang L
S = Jarak
pandang (m)
L = Panjang
busur lingkaran
R’ = Radius
sumbu lajur sebelah dalam (m)
2.8.Alinyemen
Vertikal
1.
Umum
Alinyemen
vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan
jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2 lajur 2 arah atau melalui tepi dalam
masing-masing perkerasan untuk jalan dengan median. Seringkali disebut juga
sebagai penampang memanjang jalan. Profil ini menggambarkan tinggi rendahnya
jalan terhadap muka tanah asli, sehingga memberikan gambaran terhadap kemampuan
kendaraan dalam keadaan naik dan bermuatan penuh (truk digunakan sebagai
kendaraan standar).
Perencanaan
alinyemen vertikal dipengaruhi oleh besarnya biaya pembangunan yang tersedia.
Alinyemen vertikal yang mengikuti muka tanah asli akan mengurangi pekerjaan
tanah, tetapi mungkin saja akan mengakibatkan jalan itu terlalu banyak
mempunyai tikungan. Tentu saja hal ini belum tentu sesuai dengan persyaratan
yang diberikan sehubungan dengan fungsi jalannya. Muka jalan sebaiknya
diletakkan sedikit di atas muka tanah asli sehingga memudahkan dalam pembuatan
drainasi jalannya, terutama di daerah yang datar. Pada daerah yang seringkali
dilanda banjir sebaiknya penampang
memanjang jalan diletakkan di atas elevasi muka banjir. Di daerah perbukitan
atau pegunungan diusahakan banyaknya pekerjaan galian seimbang dengan pekerjaan
timbunan, sehingga secara keseluruhan biaya yang dibutuhkan tetap dapat
dipertanggung jawabkan. Jalan yang terletak diatas lapisan tanah yang lunak
harus pula diperhatikan akan kemungkinan besarnya penurunan dan perbedaan
penurunan yang mungkin terjadi. Dengan demikian penarikan alinyemen vertikal
sangat dipengaruhi oleh pertimbangan seperti:
a. Kondisi
tanah dasar
b. keadaan
medan
c. fungsi
jalan
d. muka
air banjir dan muka
air tanah
e. kelandaian
yang masih memungkinkan
Perlu pula diperhatikan bahwa alinyemen negatif yang direncanakan itu akan berlaku
untuk masa panjang, sehingga sebaiknya alinyemen negatif yang dipilih tersebut dapat dengan
mudah mengikuti perkembangan lingkungan. Alinyemen negatif disebut juga penampang memanjang jalan
yang terdiri dari garis-garis lurus dan garis-garis lengkung. Garis lurus
tersebut dapat datar, mendaki atau menurun, biasa disebut berlandai. landai jalan dinyatakan dengan persen.
Pada umumnya gambar rencana suatu jalan dibaca
dari kiri ke kanan, maka landai jalan diberi tanda positif untuk pendakian dari
kiri ke kanan, dan landai negatif untuk penurunan dari kiri. Pendakian dan penurunan memberi efek yang berarti
terhadap gerak kendaraan.
2.
Perencanaan
Lengkung
Pergantian
dari satu kelandaian ke kelandaian yang lain dilakukan dengan mempergunakan
lengkung vertikal. Lengkung vertikal tersebut direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi keamanan, kenyamanan dan
drainase. Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua
bagian lurus (tangen), adalah :
a.
Lengkung
vertikal cekung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen
berada di bawah permukaan jalan.
b.
Lengkung
vertikal cembung, adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua tangen
berada di atas permukaan jalan yang bersangkutan.
c.
Lengkung
vertikal dapat dibentuk salah satu dari enam kemungkinan terdapat pada halaman berikutnya :
Gambar
2.3.9 Nilai g pada
lengkung vertikal
1.
Menentukan Jenis Lengkung
Bentuk
lengkung vertikal yang umum dipergunakan
adalah berbentuk lengkung parabola
sederhana.
Gambar 2.3.10 Menentukan Jenis Lengkung Vertikal
Titik A, titik
peralihan dari bagian tangen ke bagian lengkung vertikal. Biasa diberi simbol
PLV (Peralihan lengkung vertikal). Titik B, titik peralihan dari bagian lengkug
vertikal ke bagian tangen di beri simbol
PTV (Peralihan tangen vertikal). Titik perpotongan kedua bagian tangen diberi
nama titik PPV (Pusat perpotongan vertikal). Letak titik-titik pada lengkung
vertikal dinyatakan dengan ordinat Y dan X terhadap sumbu koordinat yang
melalui titik A. Pada penurunan rumus lengkung vertikal terdapat beberapa
asumsi yang dilakukan, yaitu :
a.
Panjang
lengkung vertikal sama dengan panjang proyeksi lengkung pada
bidang horisontal = L.
b.
Perubahan
garis singgung tetap (d2Y/dx2 = r).
c.
Besarnya
kelandaian bagian tangen dinyatakan dengan g1 % dan g2 %.
Kelandaian diberi tanda positif jika pendakian, dan diberi tanda negatif jika
penurunan.
Rumus umum parabola dY2/dx2 = r
(konstanta)
dY/dx = rx
+ C
r
= (g2 - g1)/L
Y
=
x = 0 kalau Y = 0, sehingga C’ = 0
Y
=
(y
+ Y) : g1 .½ . L = x : ½ L
y
+ Y = g1. x
g1.
x = Y + y
Y
= - (g1 - g2)/2L. x2 + Y + y
y
=
y
=
Jika
A dinyatakan dalam persen
Untuk x = ½ L dan
y =EVMaka diperoleh :Ev =
Persamaan di atas berlaku baik untuk lengkung vertikal
cembung maupun lengkung vertikal cekung. Hanya bedanya, jika EV yang
diperoleh positif, berarti lengkung vertikal cembung, jika negatif, berarti
lengkung vertikal cekung.Dengan mempergunakan persamaan di atas
dapat ditentukan elevasi setiap titik pada lengkung vertikal.
2.
Menentukan
jari-jari Kelengkungan
Untuk kenyamanan dan keamanan pengemudi, pemakaian
standar jari-jari minimum dalam merencanakan dibatasi oleh masalah-masalah
pelik. Sebagai ganti standar jari-jari minimum, besar nilai-nilai dalam
perencanaan pada kondisi normal seperti pada tabel 2.4
Tabel
2.4 Jari-jari
Kelengkungan Berdasarkan Kecepatan Rencana
Kecepatan
Rencana
Km/jam
|
Lengkung
|
Standar
Min
(m)
|
Rencana
Radius Minimum (m)
|
100
|
Cembung
|
6500
|
10.000
|
|
Cekung
|
3000
|
4000
|
80
|
Cembung
|
3000
|
4500
|
|
Cekung
|
2000
|
3000
|
60
|
Cembung
|
1400
|
2000
|
|
Cekung
|
1000
|
1500
|
50
|
Cembung
|
800
|
1200
|
|
Cekung
|
700
|
1000
|
40
|
Cembung
|
450
|
700
|
|
Cekung
|
450
|
700
|
30
|
Cembung
|
250
|
400
|
|
Cekung
|
250
|
400
|
20
|
Cembung
|
100
|
200
|
|
Cekung
|
100
|
200
|
Sumber : Peraturan Perencanaan
Geometrik Jalan Raya (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1990
)
3. Menentukan
Jarak Pandang
a. Lengkung
Vertikal Cembung
Bentuk
lengkung vertikal seperti yang diuraikan terdahulu, berlaku untuk lengkung
vertikal cembung atau lengkung vertikal cekung. Hanya saja untuk masing-masing lengkung terdapat
batasan-batasan yang berhubungan dengan jarak pandang.
Pada lengkung
vertikal cembung, pembatasan berdasarkan jarak pandang dapat dibedakan atas dua
keadaan yaitu :
1.
Jarak
pandangan berada seluruhnya dalam daerah lengkun (S < L).
2.
Jarak
pandangan berada di luar dan di dalam daerah lengkung
(S
>L).
Gambar 2.3.11 Jarak Pandang pada Lengkung Vertikal
Gambar Jarak pandang lengkung vertikal cembung ( S < L
)
Rumus :
L =
Jika dalam
perencanaan dipergunakan jarak pandang henti
menurut Bina Marga, dimana h1 = 10 cm = 0,10 m dan h2
= 120 cm = 1,20 m, maka:
L
= AS2 : 399 = CAS2
Jika dalam perencanaan dipergunakan jarak pandang menyiap
menurut Bina Marga, dimana h1 = 120 cm = 1,20 m dan h2 =
120 cm = 1,20 m, maka :
L
=
= CAS2
C = konstanta
garis pandang untuk lengkung vertikal cembung dimana S < L
Lengkung Vertikal Cembung dengan S > L
Gambar 2.3.12 Jarak
pandang pada lengkung vertikal cembung (S > L)
Sehingga dapat diperoleh Rumus :
L
= 2S -
-
Jika dalam
perencanaan dipergunakan jarak pandang henti menurut Bina Marga, dimana h1
= 10 cm = 0,10 m dan h2 = 120 cm = 1,20 m, maka:
L = 2S -
= 2S -
Jika dalam
perencanaan dipergunakan jarak pandang menyiap menurut Bina Marga, diman h1
= 120 cm = 1,20 m dan h2 = 120 cm = 1,20m
maka :
L
= 2 S - 200
L
=
C1=
Konstanta garis pandangan untuk lengkung
vertikal cembung dimana S > L
Panjang
lengkung vertikal cembung berdasarkan kebutuhan akan drainase yakni diperoleh dengan :
L = 50 A
b. Lengkung
Vertikal Cekung
Disamping bentuk lengkung yang berbentuk parabola sederhana,
panjang lengkung vertikal cekung juga harus ditentukan dengan memperhatikan :
1.
Jarak penyinaran lampu kendaraan.
2.
Jarak pandang bebas dibawah bangunan.
3.
Persyaratan drainase.
4.
Kenyamanan mengemudi.
5.
Keluwesan bentuk.
1. Jarak
penyinaran lampu kendaraan
Jangkauan
lampu depan kendaraan pada lengkung vertikal cekung merupakan batas jarak
pandangan yang dapat dilihat oleh pengemudi pada malam hari. Di dalam perencanaan umumnya tinggi lampu depan diambil setinggi
60 cm, dengan sudut penyebaran sebesar 1°.
Letak penyinaran lampu dengan kendaraan dapat dibedakan
atas 2 keadaan yaitu :
1.
Jarak
pandangan akibat penyinaran lampu depan < L
2.
Jarak
penyinaran akibat penyinaran lampu depan > L
Lengkung
vertikal cekung dengan jarak penyinaran lampu depan < L
Gambar
2.3.13 Lengkung Vertikal Cekung,Jarak
Penyinaran
lampu <L
Rumus :
L =
Lengkung
vertikal cekung dengan jarak penyinaran lampu depan > L
Gambar 2.3.14Lengkung
Vertikal Cekung,Jarak
Penyinaran Lampu> L
L =
380
|
2.
Jarak Pandang bebas dibawah bangunan
Jarak pandang bebas pengemudi pada jalan raya yang
melintasi bangunan-bangunan lain seperti jalan lain, jembatan penyeberangan, viaduct, aquaduct, seringkali terhalangi oleh bagian bawah bangunan
tersebut. Panjang lengkung vertikal cekung minimum diperhitungkan berdasarkan
jarak pandang henti minimum dengan mengambil tinggi mata pengemudi truk yaitu
1,80 m dan tinggi objek 0,5 m (tinggi lampu belakang kendaraan). Ruang bebas
vertikal minimum 5 m, disarankan mengambil lebih besar untuk perencanaan yaitu
5,5 m, untuk memberi kemungkinan adanya lapisan tambahan dikemudian hari.
Jarak
pandang S < L
Gambar
2.3.15 Jarak Pandang Bebas S < L
Rumus :
L =
jika h1 = 1,80 m, h2 = 0,50 m dan C = 5,50
m , maka persamaan menjadi :
L
=
Jarak
pandangan S > L
diasumsikan
titik PPV berada dibawah bangunan
Gambar 2.3.16 Jarak
Pandangan S
> L
Rumus :
L
= 2 S -
Jika h1 = 1,80 m, h2 = 0,50 m dan C = 5,50 m, maka
persamaan menjadi :
L =
3.
Kenyamanan
mengemudi pada lengkung vertikal cekung
Adanya gaya sentrifugal dan gravitasi pada lengkung
vertikal cekung menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi. Panjang
lengkung vertikal cekung minimum yang dapat memenuhi syarat kenyamanan adalah :
L =
Keterangan :
V = Kecepatan
rencana (Km/jam)
A = Perbedaan
aljabar landai
L = Panjang
lengkung vertikal cekung
4.
Menentukan
Kelandaian
Kelandaian
adalah suatu besaran untuk menunjukkan besarnya kenaikan/penurunan vertikal
dalam suatu satuan jarak horizontal (%). Gambar rencana suatu jalan
dibaca dari kiri ke kanan maka landai pendakian sebelah kiri (+) dan
penurunannya (-).
a. Kelandaian
Minimum
Kelandaian
minimum sebetulnya tidak merupakan syarat mutlak dalam perencanaan jalan,
apabila kalau dilihat dari sudut teknik lalu lintas, bahwa landai yang datarpun
tidak merupakan suatu keberatan bahkan merupakan keadaan ideal.
Dalam perencanaan disarankan menggunakan
:
1.
Landai
datar untuk jalan-jalan di atas tanah timbunan yang tidak mempunyai kerb.
Lereng melintang jalan dianggap cukup untuk mengalirkan air di atas badan jalan
dan kemudian ke lereng jalan.
2.
Landai
0,15% dianjurkan untuk
jalan-jalan di atas tanah timbunan dengan medan datar dan mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu
mengalirkan air hujan ke inlet atau saluran pembuangan.
3.
Landai
minimum sebesar 0,3%-0,5%dianjurkan
dipergunakan untuk jalan-jalan di daerah galian atau jalan yang memakai kereb.
Lereng melintang hanya cukup untuk mengalirkan air hujan yang jatuh diatas
badan jalan, sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat kemiringan dasar
saluran samping.
b. Kelandaian
Maksimum
Kelandaian 3% mulai memberikan
pengaruh kepada gerak kendaraan mobil penumpang, walaupun tidak seberapa
dibandingkan dengan gerakan kendaraan truk yang terbebani penuh. Pengaruh dari
adanya kelandaian ini dapat terlihat dari berkurangnya kecepatan jalan
kendaraan atau mulai dipergunakannya gigi rendah. Kelandaian tertentu masih
dapat diterima jika kelandaian tersebut mengakibatkan kecepatan jalan tetap
lebih besar dari setengah kecepatan rencana. Untuk membatasi pengaruh
perlambatan kendaraan truk terhadap lalu
lintas, maka ditetapkan landai maksimum untuk kecepatan rencana tertentu. Bina
Marga (luar kota) menetapkan kelandaian maksimum seperti tabel dibawah, yang
dibedakan atas kelandaian maksimum standar dan kelandaian maksimum mutlak. Jika tidak dibatasi oleh kondisi keuangan, maka sebaiknya
dipergunakan kelandaian standar.
Tabel 2.3.5 Perbedaan
Kelandaian AASHTO dan Bina Marga
Kecepatan
|
Jalan Arteri luar kota
(AASHTO ‘90 )
|
Jalan antar kota
(Bina Marga)
|
|||
Rencana
(Km/jam)
|
Data(r)
|
Perbukitan
|
Pegunungan
|
Kelandaian Maks.Stdr
|
Landai
Maks. Mutlak
|
40
|
|
|
|
7
|
11
|
50
|
|
|
|
6
|
10
|
64
|
5
|
6
|
8
|
|
|
60
|
|
|
|
5
|
9
|
80
|
4
|
5
|
7
|
4
|
9
|
96
|
3
|
4
|
6
|
|
|
113
|
3
|
4
|
5
|
|
|
Sumber : Peraturan Perencanaan Geometri Jalan Raya Luar Kota (
Direktorat Jenderal Bina Marga, 1990 )
c. Panjang
Kritis suatu kelandaian
Kelandaian maksimum saja tidak cukup
merupakan faktor penentu dalam perencanaan alinyemen vertikal, karena jarak
yang pendek memberikan faktor pengaruh yang berbeda dibandingkan dengan jarak
yang panjang pada kelandaian yang sama. Kelandaian besar akan mengakibatkan
penurunan kecepatan truk yang cukup berarti jika kelandaian tersebut dibuat
pada panjang jalan yang cukup panjang, tetapi kurang berarti jika panjang jalan
dengan kelandaian tersebut hanya pendek saja.
Batas kritis umumnya diambil jika
kecepatan truk berkurang mencapai 30-75%
kecepatan rencana, atau kendaraan terpaksa mempergunakan gigi rendah. Pengurangan kecepatan truk dipengaruhi oleh besarnya
kecepatan rencana dan kelandaian. Kelandaian pada kecepatan rencana yang tinggi akan mengurangi kecepatan truk
sehingga berkisar antara 30-50 % kecepatan rencana.
Kecepatan truk selama 1
menit perjalanan, pada kelandaian ±10%dapat mencapai 75% kecepatan rencana. Tabel di atas memberikan panjang kritis
yang disarankan oleh Bina Marga (luar kota), yang merupakan kira-kira panjang 1
menit perjalanan, dan truk bergerak dengan beban penuh. Kecepatan truk pada
saat mencapai panjang kritis adalah
sebesar 15-20 km/jam.
d. Lajur
Pendakian
Pada jalan-jalan berlandai dan volume
yang tinggi, seringkali kendaraan-kendaraan berat yang bergerak dengan
kecepatan di bawah kecepatan
rencana menjadi penghalang kendaraan lain yang bergerak dengan kecepatan
sekitar kecepatan rencana. Untuk menghindari hal tersebut perlulah dibuatkan
lajur pendakian. Lajur pendakian adalah lajur yang disediakan khusus untuk truk
bermuatan berat atau kendaraaan lain yang berjalan dengan kecepatan lebih
rendah, sehingga kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih lambat
tanpa mempergunakan lajur lawan.
Gambar 2.3.17 Lajur Pendakian
5. Tinjauan
Lengkung
Tinjauan lengkung terbagi menjadi dua yaitu lengkung
cembung dan lengkung cekung.
a. Lengkung
Cembung
Gambar 2.18 Nilai g pada Lengkung Vertikal
Bentuk persamaan umumnya
:
y’ = -
( g2 - g1 ) x2 : 2L
Keterangan :
Ev = Penyimpangan dari
titik potong kedua tangen
ke lengkung vertikal.
( disini y’ = Ev untuk x = L/2 ).
A = Perbedaan aljabar kedua tangent = g2 - g1
L = Panjang lengkung vertikal cembung,
adapun panjang
minimumnya
ditentukan berdasarkan :
1.
Syarat
pandangan henti dan drainase (Grafik
III “SSPGJLK”).
2.
Syarat pandangan menyiap (Grafik IV “SSPGJLK”).
Rumus untuk
lengkung vertikal cembung :
|
y’ = Ev =
A = g2
- g1
Masalah yang
timbul pada lengkung cembung adalah
penyediaan jarak pandang yang tidak memadai.
b. Lengkung cekung
Gambar 2.3.19 Nilai g pada Lengkung Vertikal Cekung
Analogi dengan
penjelasan di atas, hanya panjang lengkung vertikal cekung ditentukan
berdasarkan jarak pandangan waktu malam dan syarat drainase sebagaimana
tercantum dalam grafik V “SSPGJLK”.
Keterangan :
Pada alinyemen
vertikal tidak selalu dibuat lengkungan dengan jarak pandangan menyiap,
bergantung :
1. medan
2. klasifikasi
jalan
3. pembiayaan
Dalam menentukan harga A = g2 - g1
ada dua cara :
1.
Bila % ikut serta dihitung, maka rumus seperti di
atas.
2.
Bila
% sudah dimasukkan dalam rumus, maka rumus menjadi :
y’ = Ev
=
Masalah yang
timbul pada lengkung cekung adalah hanya kenyamanan pengendara ketika melewati
lengkung. Diatasi dengan bentuk
lengkung transisi atau Spiral.
2.4.Stasioning
Stasioning (penomoran) panjang
jalan pada tahap perencanaan adalah memberikan nomor pada interval-interval tertentu dari awal pekerjaan.
Nomor jalan (Sta jalan) dibutuhkan sebagai sarana komunikasi untuk dengan cepat
mengenal lokasi yang sedang dibicarakan, selanjutnya menjadi panduan untuk
lokasi suatu tempat. Nomor jalan ini sangat bermanfaat pada saat pelaksanaan
dan perencanaan. Di samping itu dari penomoran jalan tersebut diperoleh
informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan. Setiap Sta jaln dilengkapi
dengan gambar potongan melintangnya. Nomor jalan atau Sta jalan ini sama
fungsinya dengan patok km di sepanjang jalan. Perbedaannya adalah :
1. Patok km merupakan petunjuk jarak
yang diukur dari patok km 0, yang umumnya terletak di ibukota provinsi atau
kota madya.
Patok Sta merupakan petunjuk jarak yang diukur dari awal
pekerjaan (proyek) sampai dengan khir pekerjaan.
2. Patok km berupa patok permanen yang
dipasang dengan ukuran standar yang berlaku.
Patok Sta merupakan patok sementara selama masa pelaksanaan
ruas jalan tersebut.
Persamaan
untuk menghitung stasioning
Sta
A = 0+000 m
Sta
Ts = Sta A + Jarak – Ts
Sta
Sc = Sta Ts + Ls
Sta
A = Sta A + Jarak
Sta
Cs = Sta Sc + Lc
Sta
St = Sta Cs + L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar